Label

Sabtu, 09 Oktober 2010

Tafsir Mimpi Nabi Yusuf dan Ekonomi Islam

M. Fathoni Mahsun

Dengan kemampuannya mena'birkan mimpi Sang Raja (Qitfirul Aziz), Yusuf  akhirnya dibebaskan dari penjara. Latar belakang dipenjaranya Yusuf adalah karena ia dituduh melakukan pelecehan seksual pada Zulayha, Sang permaisuri (Yusuf 33-35). Bagaimanakah mimpi Sang Raja? Kita akan buka kembali kisahnya yang tertuang dalam al-Qur'an surat Yusuf.Ketika itu Raja sedang gelisah dikarenakan sebuah mimpi. Tidak seperti biasanya, mimpi ini begitu membekas di dalam hatinya. Semenjak bangun tidur hingga beberapa saat setelahnya, masih saja mimpi itu terkenang. Dia dibuatnya tidak enak makan dan tidak enak tidur. Karena terus bertanya-tanya, "apa gerangan terjemahan mimpi itu, hingga mengganggu benak saya?" Tak kuasa menahan kegelisahan seorang diri, akhirnya dia mengumpukan penggawa-penggawanya, tokoh-tokoh masyarakat, serta orang-orang yang dianggap mempunyai reputasi menafsirkan mimpi.Ketika para undangan telah berkumpul, yang terjadi selanjutnya Raja menceritakan perihal mimpinya. Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika kamu dapat mena'birkan mimpi." (Yusuf 43)Tidak ada satupun dari yang hadir dapat  memberikan jawaban yang memuaskan Raja. Mereka malah menganggap Raja terlalu berlebihan menanggapi mimpinya tersebut. Mereka mengatakan bahwa itu adalah mimpi yang biasa hadir sebagai bunga tidur yang tidak ada maknanya apa-apa. Dan mereka pun angkat tangan dengan permintaan Raja untuk mena'birkan mimpi tersebut (Yusuf 44).Seseorang tiba-tiba menyela, dia adalah abdi ndalem kerajaan, dia mengaku tahu tentang seseorang yang reputasinya menafsirkan mimpi tidak diragukan. Bahkan dia mengatakan, profesinya sebagai abdi ndalem sudah diramalkan orang tersebut sejak beberapa saat sebelumnya, lewat mimpi yang dialami oleh abdi ndalem tersebut. Orang yang dimaksud adalah Yusuf. Singkat cerita, Yusuf yang ketika itu masih dipenjara, dipanggil ke kerajaan untuk menghadap sang raja (Yusuf 45).Dengan lancar Yusuf menafsirkan, arti dari tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering adalah supaya penduduk kerajaan bertanam tujuh tahun lamanya sebagaimana biasa. Hasil panen tersebut setelah dikurangi secukupnya untuk makan, sebagian besarnya harus disimpan dalam kondisi yang masih menempel pada tangkainya. Hal ini dimaksudkan agar gandum yang dipanen bisa bertahan dengan kondisi baik dalam waktu lama.Mengapa sistem penggudangan demikian ini dilakukan? Karena kelak setelah masa tujuh tahun itu, akan datang tujuh tahun berikutnya di mana kerajaan dalam masa krisis. Dunia pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi Mesir mengalami gagal panen yang bertubi-tubi. Sungai Nil yang menopang irigasi pertanian Mesir tidak bisa berbicara banyak. Siklus iklim yang tidak normal dan dan serangan hama wereng diduga menjadi penyebabnya. Itu semua menjadikan pertanian Mesir lumpuh total, sehingga stok pangan tadi perlahan tapi pasti menjadi semakin menipis. Dan apabila gandum tidak disimpan dengan tangkaianya, bisa dipastikan lapuk atau membusuk (Yusuf  47-48).Kemampuan Yusuf menafsirkan mimpi yang demikian membuat Raja berdecak kagum. Sehingga membuat Raja ingin membalasnya dengan menawari Yusuf untuk dijadikan salah satu pejabat tinggi kerajaan. Bak gayung bersambut, Yusuf pun menerima tawaran tersebut. Setelah dilakukan tes wawancara, Yusuf memilih jabatan sebagai menteri koordinator perekonomian, yang tugasnya adalah menjaga stabilitas ekonomi dan stabilitas pangan. Sebuah jabatan strategis, karena jabatan itu memberikan wewenang kepada Yusuf keluar masuk dari kementrian satu ke kementrian yang lain. Melakukan kunjungan kerja dari satu daerah ke daerah yang lain. Termasuk juga melakukan operasi pasar, dari satu pasar ke pasar yang lain (Yusuf 54-56). Pilihan tersebut  seketika di-ACC oleh Raja, itung-itung sebagai antisipasi kalau-kalau krisis ekonomi benar-benar terjadi. Ada orang yang kompeten yang akan menanganinya.Benar juga, ternyata kelak dikemudian hari dalam krisi yang berkepanjangan, Yusuf terbukti mampu menjaga swasembada pangan. Rakyat mesir masih bisa makan walaupun ladang dan sawah mereka tidak memberikan hasil panen. Dan yang lebih hebat lagi, penataannya hanya dilakukan selama tujuh tahun. Bandingkan dengan Indonesia, negeri subur makmur yang sudah merdeka sejak 65 tahun lalu, ternyata untuk memenuhi kebutuhan beras, gula, kedelai, susu, daging, dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya masih harus impor.Keberhasilan Yusuf tersebut berangkat dari strategi yang sederhana, fadharuuhu fi sunbulihi (biarkanlah apa yang kamu tuai bersama tangkainya). Dalam konteks Mesir ketika itu, yang notabene menjadi daerah agropolitan karena ditopang dengan keberadaan sungai Nil, strategi sederhana ini menjadi sangat jitu. Tapi bagaimana kalau dikaitkan dengan konteks kita sekarang? Strategi tersebut setidaknya mengajarkan kita tiga hal. Pertama, dalam hal investasi jangka panjang. Seyogyanya kita berinvestasi pada sesuatu yang tidak 'membusuk'.Saya akan coba jelaskan, dalam ekonomi modern, kita mengenal adanya inflasi, yaitu penurunan nilai mata uang terhadap komoditas. Uang Rp. 6000,- yang saat ini bisa dibelikan 1 Kg beras, belum tentu tahun depan mendapat beras dengan jumlah yang sama. Masyarakat awam mengatakan harga-harga semakin naik. Gaji pegawai negeri saat ini semisal Rp. 2.000.000,- yang akan mengalami kenaikan 5% dua tahun yang akan datang, belum tentu ketika itu bisa dibelikan barang yang sama banyaknya dengan barang yang bisa dibeli oleh nilai gaji saat ini, yang belum mengalami kenaikan. Jadi walaupun tampaknya naik, tetapi substansi nilainya menurun.Nah, inflasi itulah yang mengakibatkan nilai mata uang mengalami 'pembusukan'. Tidak hanya rupiah, tapi juga dolar USA, pound sterling, yen, peso, dan mata uang lainnya juga mengalami pembusukan yang sama. Terbukti di nagara-negara asal uang tersebut juga terjadi apa yang dinamakan dengan inflasi. Apa sebabnya? Karena mata uang yang digunakan tersebut tidak mempunyai nilai instrinsik. Hakikat mata uang-mata uang tersebut hanyalah kertas yang dikasih angka. Sedangkan kertas yang dipakai uang itu sendiri, nilainya tidak sebesar nilai nominal yang tertera di atasnya.Berbeda dengan dinar yang bahannya adalah emas, atau dirham yang bahannya perak, dua mata uang yang terakhir kali pernah digunakan pada masa pemerintahan Islam Turki Usmani tersebut mempunyai nilai instrinsik. Satu dinar menggunakan bahan emas seberat 4,25 gr. Saat ini nilai satu dinar kira-kira Rp. 1.200.000,-. Kalau bahan emas yang digunakan untuk uang dinar tersebut dilebur, nilainya kurang lebih sama. Nilai mata uang yang mempunyai nilai intrinsik demikian yang tidak mengalami pembusukan. Karena buktinya, 1 dinar pada zaman Nabi SAW., empat belas abad yang lalu bisa digunakan membeli 1-2 ekor kambing, saat ini pun dengan satu dinar kita bisa mendapatkan kambing dengan jumlah yang sama.Namun karena tidak mudah mendapatkan dinar –meskipun ada-, maka pilihan investasi jangka panjang bisa kita alihkan pada komuditas lainnya, misalnya emas batangan atau yang bentuk perhiasan, properti, tanah, binatang ternak, atau bentuk benda riil lainnya. Dalam hal ini masyarakat tradisonal kita di desa-desa sudah benar dengan berinvestasi sapi, kambing, ayam, atau kerbau. Asalkan jangan berinvestasi jangka panjang dalam bentuk uang dengan jumlah besar. Kalau kita menabung Rp. 10 juta selama 5 tahun dengan bunga katakanlah 7%  pertahun, maka hitung-hitungan di atas kertas uang kita akan bertambah. Tetapi ingat, di Indonesia inflasi kita sudah mencapai 9% pertahun. Bila inflasi tersebut tidak mengalami kenaikan, maka nilai uang kita menyusut 2% pertahun.Kedua mengenai asuransi.  Dalam konteks zaman Yusuf, asuransi tersebut adalah jaminan bisa bertahan dalam kondisi krisis/ paceklik. Dalam konteks kita sekarang asuransi bisa bermacam-macam bentuknya; asuransi pendidikan, kesehatan, hari tua, kecelakaan, dll. Logika yang kita pakai dalam hal investasi jangka panjang juga berlaku untuk asuransi. Misalkan asuransi pendidikan, seorang ayah yang mempunyai anak usia 5 tahun ingin mempersiapkan biaya kuliah anaknya 14 tahun kemudian sejak dini. Lalu dia membeli produk asuransi seharga Rp. 50 juta, mengingat nilai tersebut sudah lebih dari cukup untuk ukuran tahun ini. Dia membayar preminya dengan memotong gajinya setiap bulan.Apa yang dilakukan ayah tersebut nampaknya sesuatu yang visioner. Tapi kalau ditelaah lebih lanjut, apa iya uang tersebut masih cukup untuk biaya kuliah 14 tahun yang akan datang?.  Mungkin akan lain ceritanya kalau dia menggunakan asuransi bukan dalam bentuk rupiah. Pikiran sederhananya, uang Rp. 50 juta lebih masuk akal bila dibelikan sapi, karena 14 tahun lagi sudah akan menjadi puluhan bahkan ratusan ekor sapi. Atau kalau tidak mau resiko, dibelikan emas saja, maka pasti 14 tahun yang akan datang harganya naik berkali-kali lipat. Dan itu jumlah yang lebih dari cukup untuk biaya kuliah. Sekali lagi, asuransi dalam bentuk uang kertas tidak senafas dengan prinsip fadharuuhu fi sunbulihi. Sehingga dia tidak bisa membirkan jaminan masa depan, karena nilainya yang terus membusuk.Ketiga, bahan pangan yang unggul adalah bahan pangan/ makanan yang bisa bertahan lebih lama. Ini bisa kita saksikan dengan mudah di sekeliling kita. Kalau kita pergi ke super market, ikan kalengan dalam bentuk sarden pasti lebih prestis dari ikan segar. Kopi yang ditumbuk secara tradisional di kampung-kampung tidak akan bisa masuk super market, karena di sana ada kopi sasetan yang lebih praktis dan awet. Susu bubuk kemasan harganya berkali-kali lipat dari susu segar. Demikianlah, umat Islam, khususnya yang bergerak dibidang makanan, harus terus berpikir bagaimana produk makanannya bisa lebih awet, tentunya dengan cara yang ma'ruf, alias tidak menggunakan zat-zat aditif yang merugikan kesehatan. Karena pemikiran membuat makanan lebih awet sudah ada sejak zaman Nabi Yusuf. Wallahu a'lam

13 Romadhon 1431 H/ 23 Agustus 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar