Label

Senin, 06 September 2010

PUASA SEBAGAI EMBRIO PERUBAHAN SOSIAL

oleh Komunitas Budaya Sanggar Kata pada 13 Agustus 2010 jam 1:23
oleh : M. Luthfi Aziz
Sepintas lalu puasa yang wacananya didominasi oleh agama seolah-olah bernuansa spiritual semata, namun banyaknya laporan penelitian ilmiah yang mengungkap dampak puasabagi kesehatan menunjukkan bahwa puasa juga memiliki dimensi material bagi kesehatanfisik dan mental manusia. Puasa yang diperintahkan agama bagi manusia (karenahanya manusia yang beragama) ternyata tidak hanya dalam ajaran Islam saja.Dalam beberapa ajaran agama yang lain juga "disyariatkan"berpuasa pada waktu-waktu tertentu. Puasa memiliki dimensi material, moral danspiritual yang menjadi dimensi tak terpisahkan dari kehidupan.
Puasa yangberarti menahan lapar dan dahaga merupakan penampakan lahiriyah dari hakikatpuasa, sedangkan secara fungsi puasa mengontrol hasrat mental untuk sabar,tabah dan konsisten. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menyatakan bahwamungkin seorang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa selain dari kelaparandan kehausan. Implisit hadits tersebut selain puasa lahir semestinya juga puasabatin yang menjadi esensi dari puasa. Dus seorang yang berlapar dan dahagaselama 12 jam belum tentu mendapat pahala dari puasanya, alangkah meruginyamodel puasa yang demikian. Puasa tidak hanya mementingkan aspeklahiriyah-rukniyahnya saja, lebih dari itu puasa menuntut perubahan mental,sikap, dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Perintahagama untuk menahan lapar dan dahaga bisa saja dimaknai secara tekstual, yaitumenahan lapar dan dahaga yang disertai niat puasa dalam durasi waktu yang telahditentukan, akan tetapi bagi mereka yang ulilalbab (orang-orang yang menggunakan akalnya) akan berpikir bahwa tidakmungkin Tuhan atau agama memerintahkan umatnya begitu saja untuk lapar dandahaga. Di balik itu pasti ada pesan tersembunyi yang bisa diurai dengankemampuan analitis yang dimilikinya.
Sikapmerayakan lapar dan dahaga hanya akan habis ketika peluit panjang atau bedugmaghrib bertabuh, perut akan terisi lagi dengan makanan pilihan dan dahaga akandibasahi dengan sejumlah minuman yang tersedia di meja makan. Sikap yangmenunjukkan akal berhenti memikirkan mengapa harus berlapar dan berdahagaselama seharian penuh terhapus dengan keserakahan untuk menikmati sejumlahhidangan di meja makan.
Salah satusifat manusia adalah rasa ingin tahu yang kuat, dan karena itu diantaranyadilakukan penelitian tentang puasa. Tujuan dari penelitian adalah untukmengungkap dimensi lain puasa daripada dimensi "diwajibkannya puasa". Hasilnyapenelitian medis menunjukkan bahwa puasa tidak merugikan kesehatan malahsebaliknya memberikan manfaat kesehatan. Penelitian psikologis menunjukkanbahwa dengan puasa mentalitas dan emosi bisa semakin membaik. Dan puasa sebagaiobyek penelitian juga masih membuka peluang untuk dilakukan penelitian terhadapnya,akan tetapi yang perlu dicatat belum ada satu pun penelitian yang menunjukkandampak negative dari puasa.
Puasa memangharus menahan lapar dan dahaga serta berbuka pada waktunya, melebihi waktu yangdiberikan dapat berakibat berlebih-lebihan dan mengurangi keutamaan berpuasanyaseseorang. Ini adalah rukun lahiriyah puasa yang mesti dijalani oleh shoim (seorang yang berpuasa). Sehingga jika rukun ini telah dijalanimaka seseorang dapat dikatakan purna berpuasanya dari fajar shodiq sampai tenggelamnya matahari. Akan tetapi puasasebenaranya bisa dikatakan bukan saja olah lahir melainkan juga olah batin yangdilakoni seorang shoim.
Pemahamanpuasa yang hanya akan merayakan lapar dan dahaga saja tidak akan efektif untukmenilai tingkatan puasa seseorang, diperlukan instrument lainnya untuk menentukanapakah puasa seseorang menjadi lebih baik dan berhasil melalui ujian puasa yang"diciptakannya" sendiri. Dan untuk ini tidak perlu seseorang menilai orang lainapakah puasanya berhasil atau tidak. Artinya seseorang dapat menilai dirinyasendiri apakah puasanya hanya untuk lapar dan dahaga saja ataukah bermaknalebih.
Puasa daridimensi olah batin dapat dimaknai misalnya dengan menahan emosi sebaik-baiknyaselama puasa, menahan diri dari sifat nafsu tamak dan serakah, menahan diridari berbuat curang, menahan diri dari menggosip, menahan diri dari berbohong,menahan diri dari iri hati, menahan diri dari rasa permusuhan, menahan diridari mementingkan diri sendiri, menahan diri dari berburuk sangka kepada Allahdan orang lain, menahan diri dari kemalasan dan sebagainya.
Sebaliknyaberpuasa adalah berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dan progresivitas sertaprestasi diri di hadapan Allah dan dunia. Segala kebajikan dilakukan denganringan dan penuh keikhlasan misalnya dengan menuntut ilmu melalui majlistaklim, memperbanyak dzikir, memperbanyak shodaqoh (harta, ilmu atau tenaga), meningkatkansifat amanah, meningkatkan kesabaran dan ketabahan di dalam menghadapirintangan dan meraih cita-cita, bekerja keras dengan penuh profesionalisme, membukahati terhadap kebaikan-kebaikan yang bisa diraih, mudah memaafkan, dansebagainya.
Dengan mengaplikasikan puasa sebagai ibadah yangmembutuhkan olah lahir dan olah batin bukan tidak mungkin akan mewujudkan individu-individumasyarakat yang berkualitas duniawi dan ukhrawi. Sebaliknya jika puasa dimaknaisecara lahiriyah saja maka berharap perubahan pada diri sendiri saja akanmenjadi sulit, apalagi perubahan masyarakat, dan perubahan social?. So, marilahmulai dari diri sendiri seperti nasehat Rasulullah Muhammad SAW. "Ibda' binafsik" yang berarti mulailahdari diri sendiri. Wallahu A'lam.


Anak Bertanya Pada Bapaknya
By Bimbo
Lyric By TaufikIsmail
ada anak bertanyapada bapaknyabuat apa berlapar-lapar puasa ada anak bertanya pada bapaknyatadarus tarawih apalah gunanya
lapar mengajarmu rendah hati selalutadarus artinya memahami kitab sucitarawih mendekatkan diri pada Ilahi
lihat langit keanggunan yang indahmembuka luas dan anginpun semerbaknafsu angkara terbelenggu dan lemahulah ibadah dalam ikhlas sedekah

Gosip Tentang Aisyah Istri Nabi

M. Fathoni Mahsun (Pegiat Komunitas Sanggar Kata)
Bagaimana jadinya kalauperempuan terhormat yang bergelar ummul mu'minin –sebuah gelar yang Khodijahpun tidak menyandangnya-, istri Nabi ditempa gosip? Apalagi gosipperselingkuhan. Pasti sangat heboh, untung saja ketika itu belum adainfotainment. Tak tanggung-tanggung, saking menggemparkannya berita tersebutsampai-sampai al-Qur'an menyediakan 16 ayat untuk memberitakan dan menanggapinya(an-nur 11-26).
Berawal dari keikutsertaan Aisyah, berdasarkanundian yang diadakan antara istri-istri Nabi,dalam perang pada bulan sya'ban 5 H, antara kaum mu'minin dengan BaniMushtaliq. Selepas perang rombongan kaum mu'minin berhenti pada suatu tempat.Mengetahui rombongannya berhenti, Aisyah keluar dari tandunya untuk suatukeperluan, kemudian kembali. Tiba-tiba dia merasakalungnya hilang, lalu dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombonganberangkat dengan persangkaan bahwa Aisyah masih ada dalam tandu. Setelah Aisyahmengetahui tandunya sudah berangkat, dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan tanduitu akan kembali menjemputnya.
Kebetulan, lewat di tempatitu seorang sahabat Nabi, Shafwan ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorangsedang tidur sendirian dan dia terkejut seraya mengucapkan: "Inna lillahiwa inna ilaihi raji'un, isteri Rasul!" Aisyah terbangun. Lalu diadipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun untasampai mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat merekamembicarakannya menurut pendapat masing-masing. Mulailah timbul desas-desus.Kemudian kaum munafik membesar-besarkannya, maka fitnahan atas Aisyah r.a.itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaummuslimin.
Kegoncangan demikian tentunya sangat pelik sekali,khususnya bagi Nabi SAW. Karena menohok wilayah yang paling sensitif darikehidupannya. Maka wajar saja kalau beliau shok dan serba salah. Allah kemudianmengambil inisiatif. Pertama, Allah memberikan semacam informasi intelejen,tentang siapa yang berperan sebagai bubble blower (penghembus isu)–kayak Susnoduadji aja-, sekaligus memberikan advice agar tidakburu-buru berpikiran negatif. Selain itu Allah juga menyatakan bahwa Beliausendiri yang akan menindak para pelakunya (an-nur:11, 23-25).
Rupanya, prasangka negatif ini juga mewabah padaorang-orang dekat Nabi. Mereka tidak sigap bersikap, misalnya segeramenunjukkan keberpihakkanya dengan mem-back-up Aisyah. Semuanya jadiserba salah dan bingung mau melakukan apa. Sampai-sampai al-Qur'an menegororang-orang Nabi karena tidak ada yang berani dengan tegas mengatakan "Hai!!,ini hanya gosip murahan belaka," (an-nur:12).
Lalu al-Qur'an kembali mengingatkan tentang Standart Operational Prosedur (SOP) yangharus dilakukan manakala menghadapi kasus yang berkenaan dengan penebasan hakasasi manusia atau pembunuhan karakter. SOP tersebut berlaku sama untuk semuaorang, mulai dari mereka yang diidentikkan dengan dunia malam sekalipun, sampaipada ibu negara. Apa itu? Datangkan empat saksi (an-nur:13). SOP ini seakanmengatakan, tidak mudah menuduh orang berbuat zina. Walaupun dengan haqqulyakin anda melihatnya sendiri, tapi itu tidak cukup, harus mendatangkan tigasaksi lagi. Kalau tidak bisa, anda yang seorang harus sanggup bersumpah atasnama empat orang, sebagai gantinya. Kemudian ditambah satu sumpah lagikesanggupan menerima laknat kalau tuduhannya palsu (an-nur:6-7). Celakanyahukum yang berlaku dimasyarakat kita, terlalu mudah menghakimi seseorang yangbelum tentu melakukannya, gara-gara termakan isu yang belum tentu benar.
Demikianlah bagaimana upaya Islam melindungihak-hak asasi manusia. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, persebaran isu itusudah tak terbendung, sehingga jadilah ia konsumsi publik. Sampai-sampaikalangan dalam pun ikut membicarakannya (an-nur:15), hingga datanglah pembelaandari Allah yang mengabarkan bahwa itu semua bohong. Namun kejadian ini menjadipembelajaran, tentang bagaimana seorang mu'min bersikap manakala menghadapigosip, tudingan tidak sedap pada seseorang, serta berita-berita yang belumjelas kebenarannya.
Seorang mu'min harus bersikap ilmiah, denganmelakukan dua hal: pertama, tidak gampang percaya sebelum mendengar dari empatsaksi, tiga orang yang menyaksikan secara langsung pun belum cukup. Sebuahsyarat yang sangat sulit dipenuhi. Kedua, harus jaga jarak dengan tidakmelibatkan diri menyebarkan isu tersebut. Kalau ada isu demikian datang, sikap kita adalah"sekali-kali tidak pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha suci engkau (yaTuhan kami), ini adalah dusta yang besar," (an-nur:17).
Dengan datangnya pembelaan dan penjelasan gamblangdari Allah tersebut, menimbulkan reaksi keras dari Abu Bakar. Dia bersumpahsekali-kali tidak memberikan nafkah pada keluarganya, serta memberikan santunanpada orang-orang yang membutuhkan, kalau mereka terbukti terlibat menyebarkanisu yang mencoreng kehormatan keluarga Nabi itu. Dapat dibayangkan bagaimana down-nya Nabi yangselama ini mendakwahkan kebaikan, ternyata dikondisikan tidak mampu mendidikistrinya sendiri. Juga alangkah tersiksanya batin Aisyah, dituduh melakukansesuatu yang dia tidak melakukannya. Dengan tersebarnya isu itu mana beraniAisyah keluar rumah, misalnya untuk belanja kurma atau beli gandum.Memperhatikan dampak yang luar biasa inilah kira-kira sikap Abu Bakar tersebutbermuasal.
Namun Allah dengan segera meng-counter sikap AbuBakar. Janganlah Abu Bakar bereaksi demikian, memaafkan dan berlapang dadaadalah lebih baik, toh permasalahan sudah beres (an-nur: 22). Lagi-lagi Allahmendidik hambanya untuk selalu bisa mengendalikan diri dalam kondisiseemosional apapun. Semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Wallahua'lam
1 Romadhon 1431H/ 11 agustus 2010

Jombang Kota Santri yang Tidak Didukung Budaya Islami

oleh Komunitas Budaya Sanggar Kata pada 10 Agustus 2010 jam 14:44
M. Fathoni Mahsun*)

Jalan-jalanlah ke Jogja, maka anda akan merasakan aura Jogja sebagai kota budaya yang demikian kental. Aura ini tercermin dari mulai bentuk tiang lampu penerang jalan, desain andong yang berseliweran diseputaran kota, seniman-seniman dipinggir jalan malioboro, komunitas-komunitas teater di kampus-kampus, sampai pada keberadaan kraton serta situs-situs budaya lainnya. Semuanya berpadu selaras menyampaikan pesan kebudayaan.
Mengapa mainstrem Jogja sebagai kota budaya demikian kuat? Apakah semata-mata karena terdapatnya keraton? Nanti dulu, jangan terburu-buru mengatakan ya, karena kita tahu bahwa di daerah lain di Indonesia juga terdapat keraton, tetapi tidak menebarkan aura kebudayaan sebagaimana di Jogja. Faktor petingnya tidak lain adalah adanya kesadaran steak holder Jogja untuk menjadikan potensi yang dipunyainya –keberadaan situs-situs budaya- menjadi semakin ’berbunyi’. Keseriusan untuk mengembangkan Jogja sebagai kota budaya itu setidaknya terlihat pada kata ’Jogja’ yang dijadikan sebagai ikon untuk kepentingan kebudayaan atau pariwisata. Karena nama resminya sebenarnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (pakai ’Y’ bukan ’J’).
Yang ingin saya katakan adalah, antara Jogja dan Jombang sebenarnya ada kesamaan dalam hal, bahwa Jombang juga mempunyai situs-situs cagar seperti situs-situs cagar yang dimiliki Jogja. Bedanya kalau di Jogja berupa keraton, sedang di Jombang berupa pesantren-pesantren yang tersebar di seantereo kota, baik besar maupun kecil. Kalau potensi ini tidak dihidupkan, maka pesantren-pesantren tersebut menjadi ’barang mati’ dalam kaca mata budaya.
Kita sepakati dahulu, bahwa ketika ngomong pesantren, bukan dalam artian pesantren secara mikro. Tetapi pesantren yang menjadi satu kesatuan dengan Jombang, sehingga membuatnya mempunyai brand image sebagai kota santri. Dengan demikian, kalau ingin mengembangkan pesantren bukan sekedar tempat menuntut ilmu agama, maka steak holder yang dilibatkan tidak terbatas kalangan ndalem pesantren saja. Steak holder tersebut bisa diperluas menjadi pemerintah kabupaten, insan pendidikan, pekerja seni, industri, UMKM, politikus, sampai pada organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada.
Gerakan menggugah kesadaran perlu terlebih dahulu dilakukan, yaitu kesadaran bahwa imej kota santri perlu lebih ’dibunyikan’ agar menjadi daya tarik yang lebih besar, sehingga kelak orang yang berduyun-duyun ke Jombang akan lebih banyak dari yang saat ini berduyun-duyun ke makam Gus Dur. Lihat! betapa makam Gus Dur –sebagai salah satu situs di Jombang- tersebut ternyata mampu memberi makan banyak orang. Fenomena ini menjadi pelajaran tersendiri pada kita sebagai masyarakat Jombang, untuk melakukan pengembangan-pengembangan.
Ya, kata kuncinya adalah kota santri. Ikon tersebut sementara ini terbangun semata-mata karena keberadaan puluhan pesantren yang ada di Jombang. Selain itu, tidak. Coba kalau definisi kota santri kita perluas, tidak hanya tempat berkumpulnya para santri untuk menuntut ilmu agama saja, tetapi menjadi -misalnya- wilayah berkumpulnya manusia yang menjalankan aktifitas kehidupannya sesuai dengan budaya Islami. Nah, budaya Islami kan mempunyai cakupan yang luas; pergaulan, perniagaan, perhatian terhadap kaum dhuafa’ (baca: kaum marjinal), politik, sampai pada aktifitas berkesenian. Intinya, bisa nggak Jombang menjadi laboratorium tempat memformulasikan konsep-konsep kehidupan ke- Islaman?.
Sampai di situ memang terdengar abstrak, karena kita belum mendapatkan bentuk konkritnya. Untungnya di Jombang sudah ada beberapa serpihan kecil, yang bisa dijadikan pijakan pengembangan budaya Islami. Serpihan-serpihan tersebut diantaranya: pertama, pengajian Padang mBulan asuhan Cak Nun, yang diselenggarakan di Menturo Sumobito. Pengajian ini selalu didatangi oleh pengunjung dari luar kota, juga dari Jombang sendiri. Rangkaian kegiatannya adalah pencerahan keagamaan dengan tafsir al-Qur’annya, orasi budaya, serta pagelaran seni musik kontemporer.
Kedua Mahabbaturrosul yang diselenggarakan di Desa Sumber Mulyo Jogoroto, walaupun momentumnya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, tapi catatan terpenting dari kegiatan yang selalu menyedot perhatian media massa ini adalah, merupakan modifikasi budaya untuk mengentaskan kemiskinan. Karena dalam peringatan yang dibungkus lomba-lomba dan karnaval yang diselenggarakan dalam kurun waktu satu bulan penuh tersebut juga diselenggarakan acara pelelangan. Barang-barang yang dilelang merupakan sumbangan masyarakat sekitar, mulai dari jagung, padi, meja, kursi, kambing, al-Qur’an langka, sampai sorban kyaidigunakan untuk memperbaiki rumah-rumah penduduk yang tidak layak.
Ketiga adalah nikah masal di pesantren al-Muhibbin Tambak Beras, kegiatan ini diadakan setiap bulan Rajab. Catatan penting dari kegiatan yang dibungkus peringatan rojabiyah-an ini adalah even pernikahan massal. Yaitu kepedulian dari penyelenggaranya memfasilitasi pernikahan pasangan-pasangan yang kurang beruntung secara ekonomi. Menurut penulis, kegiatan yang sudah diselenggarakan bertahun-tahun ini lebih hebat dari peringatan grebek suro yang ada di Jogja atau di Solo. Karena ritual menikah sudah tentu lebih mengusung nafas ke-Islaman dari pada mengarak kerbau bule atau memperebutkan sesaji. Sayangnya kegiatan tersebut tidak mendapat sorotan media sehebat peringatan grebek.
Keempat kegiatan Cinta Alam Indonesia, diselenggarakan oleh LDII di bumi perkemahan Kesambiwojo Wonosalam, setiap akhir tahun pelajaran sekolah. Kegiatan tersebut walaupun tidak pernah kita dengar tetapi mampu mendatangkan orang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, bahkan sampai dari luar negeri. Menempati lahan perkemahan permanen dengan luas kira-kira sepuluh hektar lebih. Catatan penting dari kegiatan ini adalah mengajak pesertanya berdialog dengan alam semesta, mentafakurinya sehingga memunculkan kecintaan terhadap alam.
Keempat hal tersebut –setidaknya yang bisa ditemukan penulis- merupakan kegiatan yang mampu memenuhi definisi Islami, karena digali dari khazanah ke-Islaman. Padang mBulan dengan pengajian plus kegiatan keseniannya, Mahabbaturrosul dengan usahanya mengentaskan kemiskinan, peringatan rojabiyah di Muhibin dengan kesediannya memfasilitasi pernikahan orang-orang tidak mampu, serta CAI dengan usahanya mencintai alam semesta buatan Tuhan. Ini semua luar biasa, dan menjadi tonggak penting yang harus diperhatikan apabila ingin menandaskan ikon Jombang sebagai kota santri. Tiga hal yang bisa dijadikan ukuran, kegiatan-kegiatan tersebut mampu menampilkan Islam dalam konteks yang lebih bermakna, sudah teruji oleh waktu, dan mampu menyedot perhatian massa dalam jumlah besar.
Maka ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan budaya Islami di kota santri. Pertama, melahirkan produk budaya baru, sebagaimana pernah lahirnya ludruk dan besutan di Jombang. Tetapi ini tidak mudah, karena memerlukan inspirasi raksasa yang diperas dari ceruk-ceruk jantung kebudayaan. Kedua, membuat even-even yang ditumpangi nilai-nilai ke-Islaman, sebagaimana empat contoh di atas. Inilah yang paling mungkin dilakukan, karena kita masih belum mampu melakukan -misalnya- festival perbankan syariah, atau kegiatan-kegiatan lain yang lebih berat dan lebih sejalan dengan arus kemajuan. Semoga menjadi inspirasi.