Label

Sabtu, 09 Oktober 2010

Perjalanan Intelektual Nabi Musa

M. Fathoni Mahsun
Nabi Musa adalah salah satu dari sedikit nabi yang diberi kesempatan Allah SWT menjalani proses pencerahan intelektual. Pencerehan intelektual pertama terjadi pada Nabi Adam. Insya Allah pada edisi-edisi berikutnya juga akan diceritakan proses intelektualisasi nabi-nabi yang lain. Yang menarik, masing-masing pencerahan intelektual yang terjadi pada beberapa nabi khusus, mempunyai pola dan konteks yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan zamannya masing-masing.Proses intelektualisasi Nabi Musa terjadi ketika bertemu dengan Nabi Khidir. Proses tersebut terjadi bukan karena nabi Musa dianggap masih belum mengerti, tapi justru sebaliknya ketika Musa berada pada kualitas SDM paling puncak. Ada tiga hal setidaknya yang bisa dikemukakan untuk memperkuat argumen bahwa sebelum bertemu Nabi Khidir Musa bukanlah orang bodoh. Pertama, ketika dia melakukan debat terbuka, atau adu argumen tentang Ketuhanan dengan orang nomor satu di Mesir, Fir'aun beserta para kabinetnya. Di depan Fir'aun, Musa yang awalnya grogi (Thaha, 24-28) lalu pelan-pelan menghimpun keberanian memproklamirkan diri sebagai duta Allah SWT (al-A'raf 104).Sudah begitu, Musa juga meminta Fir'aun untuk mengakui Tuhan yang mengutusnya itu sebagai Tuhan Fir'aun juga (al-A'raf 105). Bagaimana ini bisa terjadi, Musa yang pernah menjadi anak asuhnya (Assyua'ra' 18) berani 'sekurang ajar' itu pada orang yang juga ingin dianggap Tuhan. Musa jelas-jelas melecehkan eksistensi ketuhanan Fir'aun. Tidak cukup sampai di situ, Musa juga pamer bukti bahwa dia benar-benar sedang membawa mandat kerasulan dari Allah SWT. Karena kepercayaan dirinya yang merasa membawa mandat kerasulan tersebut, Musa mengultimatum Fir'aun untuk melepaskan Bani Isra'il yang telah ditawannya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.Merasa dipecundangi oleh anak kemarin sore, Fir'aun pun tidak terima. Dia minta ditunjukkan bukti yang dibawa Musa, untuk kemudian diadu dengan kesaktian dari pihaknya (al-A'raf 106). Siapapu orangnya, kalau dia berani melakukan debat terbuka dengan pimpinan tertinggi Negara, pastilah dia bukan orang sembarangan, apalagi orang bodoh, apalagi kalau itu menyangkut citra diri yang sudah dibangun Fir'aun sejak berpuluh-puluh tahun. Kita pun kalau menyangsikan terpilihnya bupati atau gubernur, masih pikir-pikir kalau mau ngomong "Hei, keterpilihanmu inkonstitusional, tidak sesuai dengan hukum yang berlaku." Mereka pasti didampingi penasehat-penasehat hukum yang pandai berdebat.Kedua, Musa telah mempunyai massa. Massa yang dimaksud adalah dari etnis Bani Israil. Ketika itu Musa meng-advokasi bani Israil dari imperialisme Fir'aun (al-A'raf 129). Dengan tingkat penindasan yang sudah di luar batas. Fir'aun menitahkan membunuh setiap anak laki-laki yang lahir tanpa boleh ada yang terlewat (al-A'raf 127). Tujuan pragmatis Fir'aun atas tindakan itu agar kelak tidak ada yang merongrong kekuasaan dinastinya. Tapi dampak di luar itu sungguh luar biasa, karena sekaligus berakibat memandulkan regenarasi etnis Bani Israil. Kalau hanya perempuan saja yang ada, mana bisa sebuah masyarakat melakukan regenarasi. Paling-paling hanya akan menjadi obyek kekerasan seksual Fir'aun dan anak buahnya.Kekerasan demikian mungkin hanya bisa disejajarkan dengan tindakan Hitler atas penumpasan bangsa Yahudi di abad lalu. Advokasi pada masyarakat demikian tentunya tidak bisa dilakukan oleh orang sembarangan. Advokatornya setidaknya harus punya kecerdikan, nyali, kepekaan sosial tinggi, dan mental baja. Itulah Musa. Musa berhasil mengorganisir Bani Israil hingga tumbuhlah kepercayaan dirinya untuk mengemukakan pendapat (al-A'raf 138). Perjuangan Musa membela Bani Israil mungkin mirip dengan Mahatma Gandhi yang memerdekakan rakyat India dari penjajahan Inggris, dengan Cheguivara yang memperjuangkan rakyat Cuba dan Amerika Latin dari penjajahan Amareka Serikat, serta dengan Nelson Mandela yang memerdekakan rakyat Afrika Selatan baru-baru ini.Ketiga, Musa telah dibekali Taurat (al-A'raf 142-145). Perlu diketahui, Taurat adalah kitab suci pertama yang diberikan Allah SWT kepada manusia, dan hanya ada empat orang yang mendapat kitab suci serupa. Maka pastilah empat orang tersebut merupakan orang-orang terbaik sepanjang kesejarahan manusia. Sebelum menarima Taurat, Musa terlebih dahulu menjalani diklat. Diklat ini digambarkan sebagai diklat yang sistematis karena dilakukan dalam waktu yang terprogram dengan jelas, yaitu 40 hari (al-A'raf 142). Peristiwa ini sebenarnya adalah perjalanan intelektual pertama Nabi Musa.Setelah melalui track record demikian, Allah rupanya masih menganggap Musa perlu menjalani Diklat lanjutan. Maka dengan mekanisme-Nya, dikondisikanlah Musa untuk bisa menjalani Diklat lanjutan itu. Kali ini tentor yang ditunjuk adalah Nabi Khidhir (Kahfi 65-66). Mengawali pembelajarannya, Khidhir mengajukan syarat yang aneh untuk ukuran dunia pendidikan dan pelatihan. Musa tidak boleh menanyakan sesuatu apapun sebelum Khidhir menjelaskannya sendiri (Kahfi 70). Benar saja, bersama Khidhir, Musa menghadapi keganjilan demi keganjilan.Pertama-tama, pada suatu pelayaran Musa mendapati Khidhir melobangi kapal yang sarat penumpang. Perilaku ini tidak bisa membuat Musa tinggal diam, dia meminta penjelasan, kenapa Khidhir melakukan perbuatan konyol itu. Bukankah akan fatal akibatnya, seluruh penumpang akan hanyut, termasuk mereka berdua. Protes Musa tersebut membentur ruang kosong, karena Khidhir tidak mau menjawab. Malah sebaliknya Khidhir mengatakan, kamu lupa janjimu di awal (Kahfi 71-72).Lalu keganjilan berikutnya terjadi, Khidhir sekonyong-konyong membunuh seorang anak kecil yang tidak berdosa. Di mata Musa yang seorang Nabi, perbuatan membunuh orang lain jelas tidak bisa dibenarkan, kalau orang lain tersebut tidak melakukan kesalahan yang seimbang, misalkan karena dia juga membunuh. Lagi-lagi Musa protes, dan lagi-lagi Khidhir mempunyai jawaban yang sama. Musa tersadar bahwa dia kembali melanggar persyaratan. Dia pun mengatakan ini protes terakhir kali. Kalau setelah ini protes lagi, maka disudahi saja pembelajarannya, karena berarti dia tidak lulus (Kahfi 74-76).Selanjutnya, ketika mereka berdua melanjutkan perjalanan, sampailah pada suatu pemukiman penduduk. Karena energi sudah terkuras habis, mereka mencari makanan kesana-kemari, tapi ternyata tidak ada toko makanan, food court, pedagang kaki lima, atau sejenisnya yang menjual sesuatu untuk mengganjal perut dan menghilangkan dahaga. Akhirnya mereka memberanikan diri untuk meminta belas kasihan pada penduduk. Malangnya, tidak seorangpun yang merasa iba dengan kondisi mereka yang telah melakukan perjalanan jauh. Semua penduduk daerah tersebut bersikap dingin terhadap dua orang asing itu (Kahfi 77), entah karena solidaritas sosialnya rendah atau karena curiga.Dengan kondisi prihatin seperti itu, tiba-tiba Khidhir mendirikan tembok yang hampir rubuh. Dalam pandangan Musa, jerih payah itu merupakan kesempatan untuk meminta imbalan. Ketika menyampaikan pemikiran tersebut, serta merta Khidhir memberikan ultimatum pada Musa, bahwa dengan berkata demikian, semuanya telah berakhir. Tidak ada lagi perjalanan intelektual di antara mereka berdua.Dalam penjelasannya kepada Musa (Kahfi 79-82) Khidhir mengajarkan, hendaknya dalam minilai sesuatu jangan hanya mempertimbangkan hal yang kasat mata saja. Karena di dunia ini banyak sekali terjadi fatamorgana. Apa yang tampaknya perbuatan jelek, belum tentu merupakan kejelekan pula dalam hakikatnya, demikian juga sebaliknya. Mata hati harus rajin-rajin dilatih agar bisa menjadi sumber pengetahuan dan sumber inspirasi untuk panduan melakukan tindakan. Karena memahami sesuatu haruslah dengan kesadaran (mata hati), bukan dengan prespektif indrawi belaka (al-Hajj 46). Menemukan orang yang sudah lihai menggunakan mata hati –sebagaimana Khidhir- adalah cara cepat mendayagunakan mata hati. Pada pelajaran intelektual tingkat tinggi ini, ternyata Musa yang seorang Nabi tidak lulus. Namun toh demikian dia menjadi orang yang tercerahkan. Dan pada perjalanan berikutnya, dia masuk nominasi lima orang sebagai nabi khusus yang bergelar ulul azmi. Demikian Wallahu a'lam.Rabu, 8 Romadhon 1431 H/ 18 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar