Label

Senin, 06 September 2010

Jombang Kota Santri yang Tidak Didukung Budaya Islami

oleh Komunitas Budaya Sanggar Kata pada 10 Agustus 2010 jam 14:44
M. Fathoni Mahsun*)

Jalan-jalanlah ke Jogja, maka anda akan merasakan aura Jogja sebagai kota budaya yang demikian kental. Aura ini tercermin dari mulai bentuk tiang lampu penerang jalan, desain andong yang berseliweran diseputaran kota, seniman-seniman dipinggir jalan malioboro, komunitas-komunitas teater di kampus-kampus, sampai pada keberadaan kraton serta situs-situs budaya lainnya. Semuanya berpadu selaras menyampaikan pesan kebudayaan.
Mengapa mainstrem Jogja sebagai kota budaya demikian kuat? Apakah semata-mata karena terdapatnya keraton? Nanti dulu, jangan terburu-buru mengatakan ya, karena kita tahu bahwa di daerah lain di Indonesia juga terdapat keraton, tetapi tidak menebarkan aura kebudayaan sebagaimana di Jogja. Faktor petingnya tidak lain adalah adanya kesadaran steak holder Jogja untuk menjadikan potensi yang dipunyainya –keberadaan situs-situs budaya- menjadi semakin ’berbunyi’. Keseriusan untuk mengembangkan Jogja sebagai kota budaya itu setidaknya terlihat pada kata ’Jogja’ yang dijadikan sebagai ikon untuk kepentingan kebudayaan atau pariwisata. Karena nama resminya sebenarnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (pakai ’Y’ bukan ’J’).
Yang ingin saya katakan adalah, antara Jogja dan Jombang sebenarnya ada kesamaan dalam hal, bahwa Jombang juga mempunyai situs-situs cagar seperti situs-situs cagar yang dimiliki Jogja. Bedanya kalau di Jogja berupa keraton, sedang di Jombang berupa pesantren-pesantren yang tersebar di seantereo kota, baik besar maupun kecil. Kalau potensi ini tidak dihidupkan, maka pesantren-pesantren tersebut menjadi ’barang mati’ dalam kaca mata budaya.
Kita sepakati dahulu, bahwa ketika ngomong pesantren, bukan dalam artian pesantren secara mikro. Tetapi pesantren yang menjadi satu kesatuan dengan Jombang, sehingga membuatnya mempunyai brand image sebagai kota santri. Dengan demikian, kalau ingin mengembangkan pesantren bukan sekedar tempat menuntut ilmu agama, maka steak holder yang dilibatkan tidak terbatas kalangan ndalem pesantren saja. Steak holder tersebut bisa diperluas menjadi pemerintah kabupaten, insan pendidikan, pekerja seni, industri, UMKM, politikus, sampai pada organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada.
Gerakan menggugah kesadaran perlu terlebih dahulu dilakukan, yaitu kesadaran bahwa imej kota santri perlu lebih ’dibunyikan’ agar menjadi daya tarik yang lebih besar, sehingga kelak orang yang berduyun-duyun ke Jombang akan lebih banyak dari yang saat ini berduyun-duyun ke makam Gus Dur. Lihat! betapa makam Gus Dur –sebagai salah satu situs di Jombang- tersebut ternyata mampu memberi makan banyak orang. Fenomena ini menjadi pelajaran tersendiri pada kita sebagai masyarakat Jombang, untuk melakukan pengembangan-pengembangan.
Ya, kata kuncinya adalah kota santri. Ikon tersebut sementara ini terbangun semata-mata karena keberadaan puluhan pesantren yang ada di Jombang. Selain itu, tidak. Coba kalau definisi kota santri kita perluas, tidak hanya tempat berkumpulnya para santri untuk menuntut ilmu agama saja, tetapi menjadi -misalnya- wilayah berkumpulnya manusia yang menjalankan aktifitas kehidupannya sesuai dengan budaya Islami. Nah, budaya Islami kan mempunyai cakupan yang luas; pergaulan, perniagaan, perhatian terhadap kaum dhuafa’ (baca: kaum marjinal), politik, sampai pada aktifitas berkesenian. Intinya, bisa nggak Jombang menjadi laboratorium tempat memformulasikan konsep-konsep kehidupan ke- Islaman?.
Sampai di situ memang terdengar abstrak, karena kita belum mendapatkan bentuk konkritnya. Untungnya di Jombang sudah ada beberapa serpihan kecil, yang bisa dijadikan pijakan pengembangan budaya Islami. Serpihan-serpihan tersebut diantaranya: pertama, pengajian Padang mBulan asuhan Cak Nun, yang diselenggarakan di Menturo Sumobito. Pengajian ini selalu didatangi oleh pengunjung dari luar kota, juga dari Jombang sendiri. Rangkaian kegiatannya adalah pencerahan keagamaan dengan tafsir al-Qur’annya, orasi budaya, serta pagelaran seni musik kontemporer.
Kedua Mahabbaturrosul yang diselenggarakan di Desa Sumber Mulyo Jogoroto, walaupun momentumnya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, tapi catatan terpenting dari kegiatan yang selalu menyedot perhatian media massa ini adalah, merupakan modifikasi budaya untuk mengentaskan kemiskinan. Karena dalam peringatan yang dibungkus lomba-lomba dan karnaval yang diselenggarakan dalam kurun waktu satu bulan penuh tersebut juga diselenggarakan acara pelelangan. Barang-barang yang dilelang merupakan sumbangan masyarakat sekitar, mulai dari jagung, padi, meja, kursi, kambing, al-Qur’an langka, sampai sorban kyaidigunakan untuk memperbaiki rumah-rumah penduduk yang tidak layak.
Ketiga adalah nikah masal di pesantren al-Muhibbin Tambak Beras, kegiatan ini diadakan setiap bulan Rajab. Catatan penting dari kegiatan yang dibungkus peringatan rojabiyah-an ini adalah even pernikahan massal. Yaitu kepedulian dari penyelenggaranya memfasilitasi pernikahan pasangan-pasangan yang kurang beruntung secara ekonomi. Menurut penulis, kegiatan yang sudah diselenggarakan bertahun-tahun ini lebih hebat dari peringatan grebek suro yang ada di Jogja atau di Solo. Karena ritual menikah sudah tentu lebih mengusung nafas ke-Islaman dari pada mengarak kerbau bule atau memperebutkan sesaji. Sayangnya kegiatan tersebut tidak mendapat sorotan media sehebat peringatan grebek.
Keempat kegiatan Cinta Alam Indonesia, diselenggarakan oleh LDII di bumi perkemahan Kesambiwojo Wonosalam, setiap akhir tahun pelajaran sekolah. Kegiatan tersebut walaupun tidak pernah kita dengar tetapi mampu mendatangkan orang dari berbagai penjuru daerah di Indonesia, bahkan sampai dari luar negeri. Menempati lahan perkemahan permanen dengan luas kira-kira sepuluh hektar lebih. Catatan penting dari kegiatan ini adalah mengajak pesertanya berdialog dengan alam semesta, mentafakurinya sehingga memunculkan kecintaan terhadap alam.
Keempat hal tersebut –setidaknya yang bisa ditemukan penulis- merupakan kegiatan yang mampu memenuhi definisi Islami, karena digali dari khazanah ke-Islaman. Padang mBulan dengan pengajian plus kegiatan keseniannya, Mahabbaturrosul dengan usahanya mengentaskan kemiskinan, peringatan rojabiyah di Muhibin dengan kesediannya memfasilitasi pernikahan orang-orang tidak mampu, serta CAI dengan usahanya mencintai alam semesta buatan Tuhan. Ini semua luar biasa, dan menjadi tonggak penting yang harus diperhatikan apabila ingin menandaskan ikon Jombang sebagai kota santri. Tiga hal yang bisa dijadikan ukuran, kegiatan-kegiatan tersebut mampu menampilkan Islam dalam konteks yang lebih bermakna, sudah teruji oleh waktu, dan mampu menyedot perhatian massa dalam jumlah besar.
Maka ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan budaya Islami di kota santri. Pertama, melahirkan produk budaya baru, sebagaimana pernah lahirnya ludruk dan besutan di Jombang. Tetapi ini tidak mudah, karena memerlukan inspirasi raksasa yang diperas dari ceruk-ceruk jantung kebudayaan. Kedua, membuat even-even yang ditumpangi nilai-nilai ke-Islaman, sebagaimana empat contoh di atas. Inilah yang paling mungkin dilakukan, karena kita masih belum mampu melakukan -misalnya- festival perbankan syariah, atau kegiatan-kegiatan lain yang lebih berat dan lebih sejalan dengan arus kemajuan. Semoga menjadi inspirasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar